Bab I
Pendahuluan
1. Latar belakang
Kerajaan Sambas kuno adalah
kerajaan Wijayapuraberlokasi sekitar muara sungai Rejang berdiri
sekitar abad ke 7 sampai sekitar tahun 1675 di Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat, Indonesia. Kerajaan Sambas merupakan pendahulu kesultanan
Sambas, seperti halnya Kerajaan
Kutai sebagai pendahulu Kesultanan
Kutai. Penguasa Sambas bergelar Ratu atau Panembahan. Panembahan
merupakan gelar yang mulai populer sejak 1587 karena digunakan oleh
Panembahan Senopati, raja pertama Mataram
Islam.
Pada mulanya Sambas (Kerajaan Nek
Riuh) menjadi vazal Kerajaan Bakulapura (bawahan SinghasariBakulapura/Tanjungpura/Sukadana
dengan wilayah mandala. Borneo/Brunei/Barune. Selanjutnya Sambas
(Kerajaan Tan Unggal) merupakan vazal Kerajaan Tanjungpura (penerus Bakulapura)
yaitu propinsi Majapahit di Kalimantan. Sambas terletak di antara jalur
pelayaran dari Tiongkok ke Champa menuju Tuban (pelabuhan Majapahit). Sambas
menjalin hubungan dengan Tiongkok pada tahun 1407 sejak terbentuknya
pemukiman Tionghoa Hui
Muslim Hanafi didirikan di Sambas. Pemukiman Tionghoa
ini dibawah koordinator Kapten Cina di Champa, namun
sejak tahun 1436 langsung di bawah gubernur Nan King. Kerajaan Sambas dan
kerajaan lainnya di Kalimantan di bawah pengaruh Kesultanan Demak (penerus
Majapahit). Tomé Pires melaporkan bahwa Tanjompure
(Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai) masing-masing kerajaan tersebut
dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus,
penguasa Demak. Kemungkinan besar penguasa Sambas dan
Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati Unus/Pangeran
Sabrang Lor/Yat Sun (1518-1521) sebelum menyerbu posisi Portugis di Malaka pada
tahun 1521
dimana Pati Unus gugur dalam pertempuran tersebut. Semenjak runtuhnya Demak,
Banjarmasin memungut upeti kepada Sambas, Sukadana dan Batang Lawai dan
menjadikannya vazal Kesultanan Banjar. Terakhir kalinya Sambas
mengirim upeti ke Martapura pada masa pemerintahan Sultan Mustainbillah. Pada
tanggal 1 Oktober 1609, Pangeran Adipati Saboa Tangan dari Kerajaan Sambas
melakukan pakta kerja sama dengan VOC Belanda.
Bab II
Pembahasan
1. Kerajaan-kerajaan di Sambas
Sebelum berdirinya Kerajaan Sambas di wilayah Sungai Sambas
ini sebelumnya telah berdiri Kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai
Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang
pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan
terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah :
- Keraton I disebut Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
- Keraton II disebut Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
- Keraton III disebut Kerajaan Sambas pada abad 16 M.
- Keraton IV disebut Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13
M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca
pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu
Rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat
sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa
gerabah, patung dari masa hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar
Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar
Sungai Sambas ini diyakini telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan
melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang
merupakan lalu lintas dunia sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5
hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu
lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu
Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
2.
Panembahan Ratu Sapudak
Panembahan
Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di
tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini
dapat disebut juga dengan nama "Panembahan
Sambas". Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja
Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban,
sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan
Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja
laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.[rujukan?]Pada 1 Oktober
1609 saat masa Ratu Sepudak telah mengadakan perjanjian dagang dengan Samuel
Bloemaert dari VOC yang ditanda tangani di kota Lama
Asal usul
Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu
yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas
oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M.[rujukan?] Pada tahun
1364 pasukan majapahit telah mendarat di Pangkalan Jawi.kini daerah itu bernama
Jawai Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena
berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada
saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri
adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit
lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan
yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk
menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di
Sungai Sambas.
Pada saat
rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih
dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir
telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang
Dayak pesisir.[rujukan?], Raja Tan
Unggal merupakan anak asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil naik tahta dengan
menyingkirkan putera dan puteri Ratu Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare Nandung
yang dikuburkan hidup hidup dibukit Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara
itu berniat kawin sesama saudara (lihat: Legenda Bujang Nadi Dare
Nandung) Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan
pemerintahan setelah terjadi kudeta rakyat dengan terbunuhnya Raja Tan Unggal
secara tragis dengan dimasukkan kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai
Sambas (Lihat: dato’ Ronggo) dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah
ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa
ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan
terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.[rujukan?]
Setelah lebih
dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini
melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga
kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan
Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang
masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak
diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu
Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh
Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada masa
pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri
dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan
40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan
Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah
dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian
disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah
menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu
Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum
Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu
Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini
kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat
Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang
bernama Mas Ayu Anom.
Beberapa lama
setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika
Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun,
anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa
hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan
bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman
diangurahi gelaran Raden menjadi Raden
Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah
satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan
negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga
kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Tidak berapa
lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar Selat
Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden
Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang Menteri
Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah
saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka
kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan
keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin,
Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan
Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang
menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam
perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai
yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara
tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya
itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun
demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian
membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan.
Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng
Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui.
Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke
Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya
(Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal
Ayahnya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di
Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda
bernama Raden Aryo Mangkurat
yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden
Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang
sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang
kemudian dilampiaskannya setelah Ayah Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan
Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada
Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang
handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan
Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak.
Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas
mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda
semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang
sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk
menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik
fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo
Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti.
Bab III
Penutup
Pada abad
ke-16 di Kota Lama (kecamatan Telok Keramat, 36 km dari kota Sambas) telah
berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh Ratu Sepudak, salah seorang dari
tujuh perwira dari kerajaan Majapahit yang menganut agama Hindu. Dalam masa
pemerintahannya, datang Sultan Raja Tengah dari kerajaan Brunei. Raja Tengah
datang bersama istrinya, Ratu Surya dari kerajaan Tanjungpura, dan putranya,
Raden Sulaiman. Keluarga ini kemudian memberikan pengaruh Islam kepada seluruh
kerabat kerajaan dan rakyatnya
Atas
meninggalnya Ratu Anom Kusuma, diangkatlah putranya yang bernama Raden Bekut
menjadi raja dengan gelar Panembahan Kota Balai. Raden Bekut beristrikan Mas
Ayu Krontiko, putri Pangeran Mangkurat. Raden Mas Dungun, putra Raden Bekut,
adalah panembahan terakhir Kota Balai. Kerajaan ini kemudian berakhir karena
utusan Raden Sulaiman menjemput mereka kembali ke Sambas.
Kurang lebih
tiga tahun kemudian, berpindahlah mereka mendirikan pusat pemerintahannya ke
Lubuk Mandung, pada persimpangan tiga sungai, yakni sungai Sambas Kecil, sungai
Subah dan sungai Teberau. Kota ini juga disebut Muara Ulakan. Di tempat inilah
didirikan keraton Sambas dan Raden Sulaiman dinobatkan menjadi raja pertama
kerajaan Sambas
Daftar Pustaka
Kata Pemgantar
Puji syukur
penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah Kerajaan Sambas”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas remedial ulangan semester I
Sejarah.
Dalam
Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Sejankung,
19 Desember 2011
Penyusun
Daftar Isi
Kata
Pengantar……………………………………………………………… i
Daftar Isi…………………………………………………………………….. ii
Bab I
Pendahuluan…………………………………………………………. 1
1.
Latar
Belakang……………………………………………………… 1
Bab II
Pembahasan…………………………………………………………. 2
1.
Kerajaan-Kerajaan
di Sambas…………………………………….. 2
2.
Panembahan
Ratu Sapudak……………………………………….. 2
Bab III
Penutup…………………………………………………………….. 6
Daftar
Pustaka……………………………………………………………… 7